twitter rss

Ilmuwan Temukan Tata Surya Baru

LONDON - Ditemukan sebuah sistem tata surya baru yang berisi tujuh planet dengan jarak 127 tahun cahaya dari Bumi. Sistem tata surya ini dipercaya oleh para ilmuwan sebagai yang terbesar sesudah matahari.

"Kami telah menemukan bahwa tata-surya tersebut sama seperti tata surya pada umumnya," kata Dr. Christope Lovis, ilmuwan dari European Southern Observatory (ESO), seperti dikutip melalui Telegraph, Rabu (25/8/2010).

 
Awalnya, para ilmuwan mengonfirmasi bahwa ada lima planet di tata surya tersebut, namun kemudian setelah dianalisa ternyata ada dua planet lagi. Jarak antara planet-planet tersebut dengan bintangnya juga sama seperti tata surya kita.

"Penemuan yang luar biasa ini juga menunjukkan bahwa kita kini memasuki era penelitian exoplanet, studi mengenai sistem planet-planet. Pembelajaran mengenai pergerakan planet pada orbitnya memberitahukan kepada kita mengenai proses evolusi dari tata surya tersebut," tambah Lovis.

Bintang dari tata surya tersebut, bernama HD 10180, berada di selatan konstelasi Hydrus dengan jarak 127 tahun cahaya dari Bumi.

Para astronom dengan sabar mempelajari selama enam tahun dengan menggunakan alat HARPS spectograph, yang dipasang pada teleskop ESO di La Silla, Chilli.

Planet-planet di tata surya ini berukuran 13 sampai 25 kali dari bumi. Dengan waktu orbit selama 600 hari.

Dr Lovis mengatakan, mereka juga sedang meneliti dua planet dari ketujuh planet yang ada di tata surya tersebut. Yang satu berukuran seperti planet Saturnus, yang satu lagi berukuran hampir sama seperti bumi.

Sampai saat ini para astronom telah menemukan 15 tata surya yang memiliki setidaknya tiga planet. Yang terakhir adalah 55 Calibri, sebuah tata surya yang terdiri dari dua matahari dan lima planet.
(okezone.com)

Melawan Global Warming

Pemanasan global atau yang populer dengan istilah Global Warming (GW)
menjadi salah satu isu paling hangat di seluruh dunia belakangan ini. Konferensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim
atau UNFCCC yang dilangsungkan di Bali akhir tahun lalu merupakan salah satu bukti
keseriusan isu ini. Konferensi yang berlangsung selama hampir dua minggu tersebut
berhasil menyepakati Bali Roadmap yang akan mengantarkan Planet Bumi untuk
menghadapi dan terutama melawan GW. 
GW memiliki dampak yang sangat luas. Tentu tidak cukup tempat untuk membahas
semuanya dalam tulisan ini, karenanya saya akan memfokuskan pada satu masalah saja.
Bagaimana dampak GW terhadap kedaulatan, teruma ketika dikaitkan dengan
peningkatan tinggi muka laut yang memengaruhi kondisi pulau-pulau, yurisdiksi wilayah
maritim dan batas maritim suatu negara pantai dengan negara tetangganya?
Memahami Kepulauan Indonesia dan Batas Maritimnya
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan berbatasan
dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam,
Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Dengan kesepuluh negara
tersebut, Indonesia berbatasan maritim dan sekaligus berbatasan darat dengan tiga
diantaranya yaitu Malaysia (di Kalimantan), Papua Nugini dan Timor Leste seperti
terlihat pada Gambar 1.



Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak pulau kecil. Menurut Undang-
undang No. 27/2007, ada 92 pulau kecil yang menjadi bagian dari Kepulauan Indonesia.
Bagi Indonesia, pulau-pulau kecil, terutama yang berlokasi di pinggir kepulauan (pulau
terluar) memiliki nilai strategis. Pada pulau-pulau terluar inilah ditempatkan titik-titik
pangkal yang membentuk garis pangkal kepulauan. Garis pangkal ini melingkupi seluruh
Kepulauan Indonesia dan merupakan acuan untuk mengukur lebar wilayah maritim
Indonesia (lihat Gambar 2), baik itu laut teritorial (12 mil laut dari garis pangkal), zona
tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif (200 mil laut) dan landas kontinen
(hingga 350 mil laut atau lebih). Garis pangkal ini juga menjadi referensi dalam menentukan garis batas maritim dengan negara tetangga jika terjadi sengketa atau
tumpang tindih klaim.



GW dan Tenggelamnya Pulau-pulau
Berbagai pihak telah memublikasikan temuannya terkait meningkatnya suhu Bumi yang
menyebabkan meningkatnya tingi muka laut. Data yang dilansir PBB dalam website
resmi perubahan iklim menyatakan bahwa selama abad 20, peningkatan suhu global
mencapai 0,74°C. Jika konsentrasi karbon dioksida tetap pada angka 550 ppm (parts per
million) maka peningkatan suhu bisa mencapai 2 - 4,5°C, dengan perkiraan terbaik
sebesar 3°C. Dengan kata lain, jika penurunan emisi karbon dioksida tidak dilakukan
dengan sungguh-sungguh maka peningkatan suhu yang drastis tidak bisa dihindarkan.
Fenomena lain yang teramati sebagai dampak pemanasan global adalah mencairnya es di
kutub. Telah terbukti bahwa tutupan es di Antartika (Kutub Selatan) dan Greenland
(Kutub Utara) berkurang massanya akibat pelelehan. Hal ini meningkatkan tinggi muka
laut yang mencapai 17 cm selama abad 20. Dengan kondisi yang ada sekarang, dapat
diperkirakan bahwa peningkatan tinggi muka laut di akhir abad ke-21 dapat mencapai
angka 28-58 cm. 
Salah satu akibat meningkatnya tinggi muka laut adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil
atau dataran rendah. Kawasan di Kepulauan Pasifik adalah yang selama ini diduga akan
terkena dampak GW paling awal. Kiribati, misalnya, adalah salah satu negara kecil di
kawasan Pasifik yang merasakan kekhawatiran tersebut. Presidennya, Anote Tong,
mengungkapkan dalam Forum Tahunan Pacific Selatan di Fiji (2006) bahwa dengan
tenggelamnya pulau-pulau dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, merea harus
segera mencari tempat untuk mengungsi. Negara di kawasan Pasifik yang juga rawan kena dampak GW adalah Vanuatu, Marshall
Islands, Tuvalu, dan sebagian Papua Nugini. Satu desa di Pulau Tegua, Vanuatu,
misalnya, dipaksa untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi akibat banjir karena
meningkatnya tinggi gelombang laut. Sebagai konsekuensi terjadinya pengungsian,
Australia dan Selandia Baru diperkirakan akan menjadi tujuan pengungsi utama
mengingat lokasinya paling dekat dengan negara-negara kecil di kawasan Pasifik.
Sementara itu, di Indonesia berkembang berita yang lebih dramatis. Indonesia
diperkirakan akan kehilangan 2.000 pulau pada tahun 2030 akibat GW. Kabar ini
sesungguhnya tidak bisa dipercaya begiu saja karena beredar lewat media informal dan
tidak dikeluarkan oleh institusi resmi. Meski demikian, salah satu pernyatan formal
diungkapkan oleh Kepala BMG Yogyakarta, Jaya Murjaya dalam Seminar Nasional
Geografi di Universitas Negeri Yogyakarta bulan Mei 2007. Ketika dikonfirmasi secara
personal, Murjaya mengungkapkan bahwa pernyataan itu juga dikutip dari berbagai
sumber. Dengan kata lain, ini bukan hasil kajian Murjaya maupun BMG. Murjaya juga
mengungkapkan prediksi peningkatan tinggi muka laut dapat mencapai 29 cm tahun
2030. Idealnya, kesimpulan tenggelamnya pulau ini harus didukung data yang
menyatakan bahwa terdapat 2.000 pulau di Indonesia yang berketinggian kurang dari 29
cm di atas permukaan laut saat pasang tertinggi. Pernyataan ini tentunya memerlukan
penelitian dan diskusi lebih lanjut.
Meskipun jumlah pulau Indonesia yang akan tenggelam akibat GW tidak bisa diprediksi
dengan mudah, kenyataan bahwa tinggi muka laut terus meningkat memang dapat
mengakibatkan hilangnya pulau. Hilangnya pulau kecil terluar akan mengubah garis
pangkal yang akhirnya memengaruhi status dan luas wilayah maritim Indonesia (lihat
Gambar 2). Ini adalah persoalan serius yang merupakan ancaman atas kedaulatan
(sovereignty, terkait hilangnya pulau) dan hak berdaulat (sovereign rights, terkait wilayah
maritim). 
Perlu Khawatir atau Tidak?
Meskipun segala berita tentang GW terkait peningkatan tinggi muka laut dan hilangnya
perlu diperhatikan, kehati-hatian tetap diperlukan untuk menghindari salah pengertian.
Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah definisi pulau menurut Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS). Pada pasal 121 UNCLOS, dinyatakan bahwa sebuah
pulau harus terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan berada di atas permukaan laut
ketika pasang tertinggi. Syarat terakhir terkait dengan disiplin geodesi. Hal ini
mengindikasikan bahwa pulau harus selalu berada di atas permukaan laut, apapun yang
terjadi, berapapun tinggi permukaan lautnya. Artinya, dalam mendefinisikan pulau atau
sebelum menyatakan pulau hilang, harus ada pemahaman pasang surut laut (pasut) secara
seksama.
Pemantauan pulau dengan teknologi penginderaan jauh melalui interpretasi citra satelit,
misalnya, memiliki risiko yang harus dipahami dengan baik. Salah satu risikonya adalah
penggunaan citra yang direkam pada saat air surut terendah. Akibatnya, sangat mungkin
ada obyek geografi di tengah laut yang terlihat pada citra satelit seperti pulau, padahal
obyek geografi tersebut bisa saja tenggelam ketika air pasang tertinggi. Obyek semacam ini tidak bisa dikatakan pulau. Kurangnya pemahaman akan hal ini dapat mengakibatkan
kesalahan dalam mencermati fenomena naiknya tinggi muka laut dan tenggelamnya
pulau.
Hal lain sehubungan dengan dampak GW adalah batas maritim dengan negara tetangga.
Perubahan tinggi muka laut memang dapat mengubah konfigurasi garis pantai yang pada
akhirnya mengubah garis pangkal. Perubahan garis pangkal dapat mengakibatkan
perubahan klaim maritim tetapi TIDAK akan berpengaruh pada garis batas maritim yang
SUDAH ditetapkan dalam traktat (perjanjian). Hal ini sesuai dengan ketentuan Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969, yang mengecualikan traktat batas [maritim]
dalam hal perubahan/pembatalan. Ketentuan lain yang mendukug hal ini adalah Vienna
Convention on Succession of States in Respect of Treaties 1978. 
Di Selat Malaka, misalnya, Indonesia sudah menyepakati batas dasar laut dengan
Malaysia. Garis batas ini tidak akan terpengaruh oleh perubahan garis pantai/garis
pangkal akibat GW. Meski demikian, perubahan garis pangkal semacam ini tentu saja
dapat memengaruhi penentuan garis batas maritim yang belum disepakati, seperti
penetapan batas zona ekonomi eksklusif di Selat Malaka. Sederhananya, perubahan garis
pangkal dapat berpengaruh pada garis batas yang akan disepakati di masa depan, tetapi
tidak berpengaruh pada garis batas yang sudah ada saat ini. 
Bagaimana Melawan GW?
Ada banyak sekali alasan untuk melawan GW, walaupun jelas tidaklah mudah. Dalam
konteks negara kepulauan seperti Indonesia, menjaga kedaulatan adalah salah satu
alasannya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana melawan GW? Bisakah fenomena global
yang menyangkut kehidupan seluruh Planet Bumi ini dipengaruhi atau diperbaiki oleh
tindakan individu? Memang harus diakui bahwa perubahan di tingkat penggunaan energi
dunia adalah kunci dalam melawan GW. Sayangnya hal ini tidak berada di tangan orang
kebanyakan melainkan pada kekuatan sekelompok elit di dunia. 
Yang bisa saya dan Anda lakukan adalah berbuat hal kecil yang nyata. Saya teringat puisi
Taufik Ismail yang pernah dikirimkan seorang kawan. Memang ada kalanya kita tidak
bisa menjadi beringin. Setidaknya kita bisa menjadi belukar yang tumbuh di tepi danau
atau bahkan rumput, tetapi rumput yang menguatkan tanggul jalan. Meski tidak bisa
seperti Andrew Shepherd di film The American President yang dengan lantang
mengatakan bahwa Gedung Putih akan mengirim Resolusi 455 kepada Kongres yang
mensyaratkan pengurangan 20% emisi minyak fosil dalam 10 tahun, setidaknya saya bisa
menolak tas plastik ketika membeli sebuah buku. Tindakan sederhana ini tidak akan serta
merta menghentikan GW, tetapi seperti kata Dewi Lestari, dia bisa saja menjadi bola
salju yang semakin besar dan memberi pengaruh melebihi yang pernah saya dan Anda
bayangkan. Apa yang sudah Anda lakukan untuk melawan GW hari ini?
Penulis adalah dosen Teknik Geodesi UGM, pemerhati isu batas maritim, peneliti United Nations bidang
ocean affairs and the law of the sea (2007). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
http://www.beritaiptek.com 

IPTEK

IPTEK
perkembangan iptek